Pemotong PPh Pasal 21 berkewajiban melakukan pelaporan atas pajak yang dipotong melalui SPT Masa PPh Pasal 21/26. Kewajiban tersebut tetap dilakukan meskipun tidak ada pajak yang dipotong atau nihil.
Hal tersebut dijelaskan pada Pasal 20 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 (PMK 168/2023). Pasal tersebut berbunyi:
“Ketentuan mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku dalam hal terdapat penghasilan yang diberikan, termasuk apabila jumlah pajak yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil.”
Kewajiban dimaksud pajak ayat tersebut yang tetap dijalankan meskipun pajak yang dipotong nihil adalah:
- melaporkan PPh Pasal 21/26;
- membuat bukti pemotongan dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak;
- membuat catatan atau kertas kerja penghitungan PPh Pasal 21/26; dan
- menyimpan catatan atau kertas kerja penghitungan.
Kewajiban di atas tidak berlaku jika tidak terdapat pemberian/pembayaran penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi pada bulan yang bersangkutan.
Perbedaan Ketentuan dengan PMK 9/2018
Kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 Nihil pada PMK 168/2023 bertentangan dengan ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 (PMK 9/2018) yang mengatur tentang SPT. Dalam Pasal 10 ayat (2) PMK 9/2018 disebutkan bahwa:
“Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong harus menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir menjadi tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Domisili (Certificate Of Domicile).”
Pasal di atas menjelaskan bahwa tidak ada kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 jika pajak yang dipotong nihil. Hal tersebut menimbulkan pertentangan karena PMK 168/2023 tidak mencabut ketentuan pada PMK 9/2018.
PMK 9/2018 dan PMK 168/2023 berada pada tingkatan peraturan perundang-undangan yang sama. Namun, jika dilihat dari asas hukum, PMK 168/2023 bersifat lebih baru dibandingkan PMK 9/2018. PMK 168/2023 juga bersifat lebih spesifik dalam pengaturan PPh Pasal 21, dibandingkan PMK 9/2018 yang mengatur secara umum terkait SPT. Dengan demikian, dalam konteks kewajiban pelaporan SPT Masa PPh 21, dengan memperhatikan asas lex specialis derogat legi generali dan lex posterior derogat legi priori, ketentuan pada PMK168/2023 dapat mengesampingkan ketentuan PMK 9/2018.
Mulai masa pajak Januari 2024, wajib pajak melaporkan SPT Masa melalui e-Bupot 21/26. Apa saja fitur-fitur dalam e-Bupot 21/26? Baca artikel berikut ini: Aktivasi dan Fitur e-Bupot 21/26